Address
Komplek Kapling Ganesha, Jl. Mangga IV Gg Mushola Al Fatih, Banjar Rejo, Batanghari, Kabupaten Lampung Timur, Lampung
Phone
08977741937
Email
fathinadiaredaksi@gmail.com

Mengenal Tsundoku: Kebiasaan Beli Buku, Tapi Tidak Pernah Dibaca

Diterbitkan Rabu, 9 Oktober 2024

Seberapa banyak Anda sering beli buku? Apakah setiap bulan ataukah sekali beli jumlahnya langsung banyak? Lalu, apakah sudah dibaca? Jika tidak pernah dibaca sama sekali, kemungkinan besar Anda mengalami tsundoku.

Seperti kisah, Uri (33), karyawan di sebuah perusahaan swasta, selalu tertarik untuk membeli buku. Beberapa pembelian bukunya berdasarkan referensi dari teman, melihat dari media sosial, sampulnya menarik, atau karena sinopsisnya dianggap seru. Dia selalu menyempatkan diri ke toko buku setiap berkunjung ke pusat perbelanjaan.

Dalam tiga bulan, dia sering kali membeli buku. Sekali beli bisa 2–3 buku, baik fiksi maupun nonfiksi. Jika tertarik, buku tersebut akan dibeli. Uri mengaku, dirinya memang hobi membaca. Namun, karena sibuk, hobinya ini kerap dikesampingkan. Hasilnya, banyak buku hanya terpajang rapi di rumahnya.

“Beli saja dulu. Masalah bacanya, nanti kalau waktunya sudah ada dan mood-nya lagi datang. Sekarang, memang susah cari waktu santai untuk baca. Buat aku, membaca itu butuh waktu yang pas karena kita butuh kondisi yang enak untuk bisa berimajinasi,” ujarnya.

Uri sendiri sudah tidak ingat berapa banyak buku yang dimilikinya. Temanya bermacam-macam, mulai dari tema sejarah yang sangat digemarinya, fantasi, hingga motivasi diri. Ia merasa memiliki kepuasan tersendiri jika melihat lemari penuh buku.

Anda mungkin juga punya kebiasaan seperti Uri. Orang Jepang punya istilah bagi orang yang seperti ini, yaitu tsundoku.

Mengenal “tsundoku”

Mengutip dari situs open culture, istilah tsundoku merupakan istilah lama orang Jepang dan sudah dikenal sejak era Kekaisaran Meiji (1868–1912). Istilah ini muncul pada masa awal modernisasi Jepang.

Tsundoku berasal dari kata tsunde-oku yang berarti membiarkan benda yang tertulis menumpuk. Kata oku sendiri, dalam perjalanan waktu, berubah menjadi doku yang artinya membaca buku. Karena pelafalan tsunde-doku susah, kata itu berubah menjadi tsundoku.

Apakah berbahaya?

Memang tsundoku belum bisa dikatakan sebuah penyakit atau sindrom karena belum ada penelitian medisnya. Jadi, tsundoku masih merupakan istilah saja. Namun, tsundoku juga memiliki “bahaya”, salah satunya untuk finansial Anda.

Buku memang tidak bisa disebut mahal ataupun murah. Namun, jika membelinya terlalu sering, Anda bisa terjebak dalam sikap konsumtif. Ini berbahaya bagi dompet Anda. Karena tidak pernah dibaca, hal ini menjadi mubazir. Namun, ini pun masih bisa diperdebatkan untuk mereka yang kelebihan uang atau orang yang ingin meningkatkan image sebagai orang yang terpelajar.

Hal “berbahaya” kedua adalah kebutuhan ruangan simpan yang bakal terus bertambah. Bahaya lainnya, jika hanya dibiarkan bertumpuk, malah akan membuatnya berdebu dan menjadi sarang kuman penyebab penyakit.

Bahkan, ada beberapa kasus yang membuat seseorang merasa bersalah karena merasa ikut berkontribusi dalam penebangan pohon yang menjadi bahan kertas, sementara buku yang dibelinya tak pernah dibaca. Lalu, bagaimana mengurangi kebiasaan ini?

Mengurangi tsundoku

Tsundoku sebenarnya hanya masalah kebiasaan. Anda masih bisa meredamnya, yang penting punya kemauan. Berikut ini, beberapa cara yang bisa diterapkan.

Berhentilah membeli buku sejenak dan mulailah sediakan waktu untuk membaca yang sudah dibeli.

Cobalah untuk memberi tanda pada buku-buku itu, misalnya tandai tanggal pembeliannya dan sisipkan pembatas buku pada halaman terakhir yang sudah dibaca. Buatlah target, misalnya dalam sehari baca satu buku, paling tidak 5–10 halaman.

Saran dari wikipediawan Ivan Lanin, baca sinopsisnya atau pindai cepat setiap halaman dan lihat daftar isinya untuk memancing ketertarikan untuk membacanya.

Anggarkan dana untuk pembelian buku. Buatlah jangka waktu yang agak panjang sehingga tidak sering beli buku.

Jika ingin membeli buku, cobalah untuk mencari referensi menyeluruh terlebih dulu. Ajak seseorang untuk bisa memberikan rekomendasi atau setidaknya menjadi “satpam” agar pembelian tidak berlebihan.

Jika memang sudah terlalu banyak, lebih baik sumbangkan saja bukunya. Selain itu, bisa dijual kembali. Lumayan bisa mendapatkan penghasilan tambahan.

Nah, membeli buku memang baik, tetapi kalau tidak terbaca jadi mubazir. Karena yang penting dalam sebuah buku adalah informasi di dalamnya, bukan soal transaksi pembeliannya.

sumber : https://klasika.kompas.id

One Response to Mengenal Tsundoku: Kebiasaan Beli Buku, Tapi Tidak Pernah Dibaca

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kalender

Calendar Widget by CalendarLabs

Pengunjung