Address
Komplek Kapling Ganesha, Jl. Mangga IV Gg Mushola Al Fatih, Banjar Rejo, Batanghari, Kabupaten Lampung Timur, Lampung
Phone
08977741937
Email
fathinadiaredaksi@gmail.com

Day One

Diterbitkan Sabtu, 27 April 2024

Day One
Cerita oleh Deny P

“Kamu siapa?”

“Kamusiapa?”

“Ini dimana?”

Dia menyentakkan kepalanya sambil mundur merangkak kebelakang dengan punggung, Danish yang baru tersadar dari pingsan menyerocos tak karuan.Air mukanya tampak ketakutan ketika pertanyaan itu dia lontarkan. Orang-orang disekelilingnya tak satupun yang menjawab. Mereka semua memasang wajah pias, persis seorang ayah yang baru menyadari anak gadisnya hamil di luar nikah. Danish masih sangat ketakutan. Dia terduduk di bawah dahan besar. Kedua tangannya mengais-ngais dedaunan kering berusaha menemukansesuatu di sana.Kacamatanya terjatuh. Sambil tetap waspada memperhatikan sekeliling, bibirnya tak berhenti bergetar. Setelah pandangannya jelas, Danish baru sadar dirinya sedang berada di tengah rimba. Bersama orang-orang yang sama sekali tak dia kenal.

 

Seseorang berkepala pelontos berperawakankekar mendekati Danish sambil menyodorkan sebotol air. Wajahnya seram tapi bahasanya terdengar cukup bersahabat. “Minumlah air ini, Dokter.” Namun keramahan orang itu justru membuat Danish merinding karena takut jiwanya terancam.

 

Danish meraih botol minum tersebut dengan mimik keraguan lalu sambil matanya tetap waspada dia meminumnya. “Kami memerlukan jasa Dokter di sini.” Pria berwajah sangar tadi melanjutkan pembicaraan yang sempat tertunda. Danish masih bingung, juga masih takut.

 

“Tenang, Dokter. Kami tidak akan menyakiti Dokter. Juga keluarga Dokter. Jika Dokter bisa diajak bekerja sama.”

 

“Keluarga? Apa maksudnya keluarga? Kalian apakan keluarga saya?” Sergah Danish setengah membentak. Untuk sesaat ketakutannya lenyap ditutupi kekhawatiran terhadap keselamatan keluarganya.

 

“Sekali lagi, tenang. Kami tidak akan menyakiti Ibu Lidya. Yah, setidaknya belum.”

 

“Dari mana kalian mengetahui nama istri saya?”

 

“Kami mengetahui banyak nama, Dok. Bika putri cantik Dokter, Hasan putra angkat Dokter. Aneh juga, orang berpendidikan tinggi masih percaya dengan mitos lama.” Pernikahan Danish dengan istrinya lumayan lama tak menghasilkan keturunan. Dan atas saran mertua Danish mengangkat seorang bocah panti asuhan menjadi anak.

 

“Mirna ibu Dokter, Sanjaya ayah Dokter, Heni pembantu Dokter,Sabda dan Firman keponakan kembar yang Dokter sekolahkan.Sampai saat ini orang-orang kami terus memantau keadaan rumah Dokter.”

 

“Agen kami yang menyamar sebagai petugas pemerintahan telah meyakinkan keluarga Dokter bahwa saat ini Anda sedang dalam masa tugas negara yang sangat mendadak dan tidak akan kembali dalam jangka waktu yang lama.”

 

“Bagaimana mungkin istri saya bisa begitu saja percaya dengan kebohongan semacam itu? Saya tidak percaya dengan omong kosong kalian.”

 

“Keluarga Anda memiliki rasa cinta pada tanah air. Istri Anda akan bangga mengetahui suaminya bekerja untuk negaranya. Begitupun anak dan orangtua Anda, mereka sangat bangga, ayah juga sekaligus anak mereka menjadi abdi negara.”

 

“Bagaimanadenganrumahsakit?Merekapasticuriga.”

 

Danish masih berusaha menyudutkan, berharap mereka balik terancam.

 

“Kami punya orang yang cukupberpengaruh di sana.”

 

“Lalu kenapa saya? Memangnya salah saya kepada kalian apa?” Danish bersungut-sungut.

 

“Tidak ada salah apa-apa. Kecuali jika Dokter tidak bisa diajak kerjasama, maka itu akan menjadi kesalahan pertama Anda, Dok.”

 

Danish memotong pembicaraan dengan ketus. “Baik, apa yang harus saya perbuat? Tapi tolong jangan sakiti keluarga saya.” Jika menyangkut keselamatan istri dan anak-anaknya Danish menyerah.

 

“Mari ikut saya.” Pria sangar itu berbalik kemudian berjalan menuju pondokan kecil tak jauh dari tempat Danish duduk. Danish membuntut dengan tertib daribelakang.

 

Di dalam pondokan itu ada seseorang terbaring di atas dipan berlapis tikar lusuh. Danish memperhatikan sekeliling ruangan. Iadapati beragam senjata api dan tajam. “Apakah kalian ini…” Danish ragu untuk melanjutkan bicaranya. “Begal?” Tapi keceplosan juga.

 

“Dia sedang dalam keadaan sekarat. Penting bagi kami untuk menjaganya agar tetap hidup. Sembuhkan dia.” Pria sangar itu tak mempedulikan pertanyaan Danish.

 

Danish mendekati ranjang. Dia menemukan banyak luka menganga seperti sabetan benda tajam. Luka-luka itu dibalut dengan kain seadanya untuk menghentikan pendarahan. Sebagai seorang dokter muda berprestasi tidak sulit bagi Danish untuk mendiagnosa keadaan orang sakit.

 

“Orang ini terluka cukup parah. Dia membutuhkan banyak donor darah. Melihat keadaan di sini akan sulit menyelamatkan nyawanya. Saya juga menemukan luka tembak.” Jelas Danish. Dia mengelap tangannya yang berbekas darah dengan sapu tangan di saku celananya. “Dia kehilangan banyak sekali darah. Saya tidak yakin bisa membantu.” Lanjut Danish.

 

“Jika Dokter tidak bisa menyelamatkan nyawanya, maka hal buruk akan terjadi pada kami. Dan kami pastikan hal buruk itu juga akan terjadi pada keluarga Dokter.” Ancam si pria seram. Danish mendelik, lalu kemudian tertunduk bergidik. “Lagi pula saya tak memiliki peralatan medis yang memadai. Juga obat-obatan dan perban.” Danish berusaha membela diri. “Akan kami sediakan keperluan Dokter.” Jawab lelaki sangar itu.

 

Danish tak lagi mampu mengelak. Selain karena diancam, dia juga merasa harus menegakkan idealisme terhadap sumpah kedokteran yang dia ikrarkan ketika dulu dinobatkan.Danish berada pada persimpangan yang memaksanya untuk menentukan dengan bijak.Tentu saja disertai resiko yang bisa sangat fatal, entah apa itu.

 

“Kami telah menyita semua barang-barang Dokter. Termasuk telepon genggam dan dompet. Saya sarankan agar Dokter tidak berusaha lari. Sesuatu di luar sana bisa jadi sangat tidak bersahabat.”

 

Tak sampai sehari, peralatan medis mulai berdatangan. Termasuk pasokan darah, perban dan obat-obatan. Danish tak peduli darimana mereka mendapatkan barang-barang tersebut. Apakah dari hasil menjarah rumah sakit atau dibeli di pasar gelap. Yang ada di kepalanya saat itu hanya keselamatan keluarganya. Dia menuliskan beberapa brand obat yang harus tersedia serta jenis jarum dan benang penjahit luka dalam secarik kertas.

 

Pondokan kecil itu tiba-tiba menjelma bagaikan klinik kesehatan. Meski di tengah belantara rimba namun tempat ini memiliki sumber listrik yang cukup dari mesin diesel untuk mengoperasikan beberapa peralatan. Danish langsung bekerja. Dia berburu dengan waktu untuk dapat menyelamatkan nyawa pasiennya. Dimulai dari melepas kain-kain yang mengikat luka pasiennya itu lalu membersihkan lukanya. Untuk menunjang pekerjaannya Danish dibantu oleh dua orang. Yang seorang perempuan dan seorang lagi remaja. Pada titik-titik tertentu masih terjadi pendarahan namun Danish bisa cepat mengatasinya. Kemudian satu per satu alat medis dia pasangkan di tubuh si pasien.

 

Peluhnya bercucuran biarpun pintu dan jendela dibiarkan terbuka, ditambah sekeliling pohon-pohon. Jemarinya dengan cekatan memainkan jarum bengkok untuk menjahit luka sang pasien. Dalam proses operasi Danish harus mengambil beberapa peralatan sendiri karena rekan kerjanya sama sekali tak mengerti tentang medis. Dia juga harus cepat agar nyawa pasiennya terselamatkan.

 

Hari kian gelap. Dokter Danish telah selesai dengan pasiennya. Dia mulai meracik resep obat untuk persiapan hari esok. Pasien Danish masih belum sadarkan diri namun telah melewati masa kritis. Penampakannya sudah jauh lebih baik dibandingkan siang tadi.

 

Danish memanggil si pria berwajah sangar. “Keadaannya sedikit lebih baik dari sebelumnya. Tapi dia masih belum sadarkan diri. Melihat luka-lukanya, saya rasa dua atau tiga hari lagi dia akan siuman. Atau bisa lebih lama. Malam ini harus ada yang berjaga. Saya akan membuat persiapan untuk besok.” Jelas Danish pada lelaki sangar itu. “Saya mengerti, Dokter.” Ditimpalinya dengan halus.

 

Setumpuk pakaian telah disiapkan untuk ganti sang dokter. Setelah membersihkan diri, si pria sangar mengajak Danish menuju ruangan lain. Ternyata itu adalah ruang makan. Danish menyantap makan malam yang mewah untuk ukuran orang rimba. Sepertinya ada pemasok makanan sendiri dari desa terdekat. Dua pria berbadan padat berjalan menuju pondok tempat pasien Danish dirawat. Mereka akan berjaga malam sesuai yang diintruksikan.

 

Suasana makan malam berjalan sederhana. Berbanding terbalik dengan kebiasaan Danish di rumah. Nasi dan sayur diletakkan di atas nyiru berlapis daun jati, diletakkan beberapa titik.Dihidangkan untuk beberapa orang saja.Sisanya, makan bersama berebutan. Tiga bakul nasi ditumpahkan di atas lembaran daun pisang. Diratakan memanjang. Kemudian lauk pauk ditumpahkan lagi di atas nasi, disebar asal-asalan. Baru kegiatan santap malam dilakukan. Pria, wanita dan kumpulan anak remaja duduk bersama. Danish duduk bersama para petinggi kelompok. Dia tahu bahwa mereka adalah petinggi kelompok dari pakaian yang mereka kenakan, lebih bersih dari yang lain. Juga dari pelayanan yang diberikan, serta cara orang lain menatap para petinggi tersebut.Tidak ada yang berani menatap mata mereka lama-lama.

 

Hawa dingin menyelinap melalui celah-celah dinding kayu. Gemerisik daun yang tertiup angin menjadi sebuah melodi penghibur hari kelabunya ini. Dikejauhan sayup-sayup terdengar lolongan binatang. Beraneka suara.Listrik sudah dipadamkan sejak masih sore, diganti dengan penerangan petromaks. Danish duduk bersandar dipembaringan sambil memikirkan nasibnya.

 

Dia rindu pelukan istri, anak-anaknya, kemewahannya.

 

Bahkan hal-hal menyebalkan dalam hidupnya juga mulai dia rindukan. Seperti saat disindir mertuanya, dibentak istrinya, anak-anaknya yang kadangberulah. Orang-orang yang menyanderanya itu menempatkan Danish pada satu pondokan kecil tak jauh dari klinik sebagai kamar untuk dia tidur. Dua orang berjaga didepan pintu agar dia tak melarikan diri. Padahal dalam pikiran Danish tak terbesit niat untuk kabur sedikitpun. Dia mencemaskan keselamatan keluarganya. Malam semakin sunyi. Danish merebahkan dirimenikmati rasa letihnya, lalu pelan-pelan pandangannya menjadi gelap dan entah sejak kapan dia kehilangan kesadaran.

 

……………………………………….

Day Two, soon… always be happy and never in despair. (a)

2 Responses to Day One

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Kalender

Calendar Widget by CalendarLabs

Pengunjung